Selasa, 09 Desember 2014

INTERNALISASI PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD
DALAM PENGUKURAN KINERJA PERGURUAN TINGGI

Helxny Adam
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Abstraksi
Pengukuran kinerja perguruan tinggi di Indonesia dirasa masih
sangat terbatas dalam hal memandang konsepperguruan tinggi sebagai
suatu entitas integral dalam pendidikan dan proses aktivitas operasinya.
Penggunaan 4 (empat) prespektif Balanced Scorecard (keuangan, proses
bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan, dan pelanggan) dalam
menyusun alat ukur kinerja disamping kaitannya dengan misi strategis
secara teoritis bisa dikembangkan di Perguruan Tinggi- Empat prespektif
tersebut diturunkan dalam beberapa pengukuran teknis yang akan
dijabarkan dalam tulisan ini meskipun beberapa hal belum teruji
integral secara empiris.
Kata Kunci: balanced scorecard, perguruan tinggi, kinerja

Pendahuluan
Pendidikan tinggi di Indonesia berkembang pesat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan era kemudahan dalam pendirian perguruan tinggi. Tingkat persaingan yang semakin hebat menjadikan perguran tinggi harus mampu melihat posisi dan kondisi dirinya. Beberapa kelemahan yang dialami
oleh perguruan tinggi negeri ternyata juga terjadi di perguruan tinggi swasta, misalnya terkait dengan budaya pengawai yang bekerja tidak berorientasi pada kualitas hasil, namun lebih melihat proses/volume kerjanya. Mereka bekerja keras dan yakin telah bekerja sekuat tenaga, tetapi tidak mengetahui apa hasil yang diperoleh dan bagaimana mengevaluasinya (Kaplan & Norton 1996:158).
Pengembangan model pengukuran kinerja yang lebih modem diperlukan,mengingat pengukuran kinerja perguruan tinggi cenderung tidak jelas, meskipun ada akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN). Sebenarnya revolusi manajemen telah dilakukan dengan munculnya paradigma baru
perguruan tinggi melalui konsep tetrahedron yaitu evaluasi, kualitas, akuntabilitas, otonomi, dan akreditasi (Suhendro 1996). Keterikatan institusional mulai dikurangi sejak tahun akademik 1997/1998 dengan tata cara pengajuan anggaran yang oleh dirjen DIKTI didasarkan pada kriteria kinerjanya {performance based), artinya perguruan tinggi didorong untuk mengadakan perencanaan yang terkait dengan evaluasi dirinya (Semiawan 1998:73). Artikel ini membahas mengenai ide penggunaan 4 prespektifnya balanced scorecard (BSC) yang diambil untuk diaplikasikan dalam membuat evaluasi dan mengukuran kinerja perguruan tinggi. Walaupun pada awainya aplikasi BSC
digunakan pada sektor laba, peluang scorecard masih bisa dipakai untukmemperbaiki manajemen pemerintah atau perusahaan nirlaba (Kaplan & Norton 1996:175). Diharapkan ide ini akan mampu menjadi alat bantu revolusi manajemen PTS menuju arah pengukuran kinerja kontemporer yang tidak
tertinggal dengan organisasi bisnis. Manajemen Organisasi Nirlaba dan Manajemen Perguruan Tinggi
Perbedaan orientasi organisasi bisnis dan nirlaba berimplikasi pada pola manajemen yang berbeda. Manajemen organisasi bisnis diarahkan untuk pencapaian tujuan maksimalisasi profit perusahaan dalam rangka memperkaya shareholders. Manajemen organisasi nirlaba lebih diarahkan menuju upaya memberikan ja sa tanpa mengharap kembalian yang setara dengan pengorbanannya (cosí). Kriteria organisasi nirlaba menurut PSAK No. 45 sebagai berikut:
a. Sumber daya entitas yang berasal dari para penyumbang yang tidak
mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding
dengan jumlah sumber daya yang diberikan
b. Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan
kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah
dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut
c. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti
bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, atau ditebus
kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian
sumber daya entitas pada saat likuidasi atau pembubaran entitas (IAI 1999)
Perkembangan manajemen organisasi nirlaba dan evaluasi kinerjanya
cenderung dibuat asal-asalan atau kadang tidak jelas. Beberapa yayasan
membuat laporan kinerja keuangan hanya untuk memenuhi tuntutan
akuntabilitas penyumbang, dan tidak berorientasi untuk perkembangan
lembaganya sendiri.
Manajemen perguruan tinggi umumnya hanya membuat analisis kinerja keuangan berbasis laporan anggaran dan realisasi anggaran, serta beberapa evaluasi diri non-keuangan untuk keperluan akreditasi. Hal ini menjadikan evaluasi kinerja komprehensif yang bersifat formal tidak berkembang sehingga seolah-olah manajemen pelaporan kinerja perguruan tinggi menganut azas kesederhanaan dalam pelaporan seperti organisasi nirlaba lainnya. Instruksi DIKNAS untuk memformalkan visi dan misi strategis dan perencanaan sebenarnya telah dipenuhi oleh pihak manajemen perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah visi dan misi tersebut sudah sesuai dengan kriteria kinerjanya, dan apakah strategi yang dibuat bisa diaktualisasikan dalam tindakan. Harus kita ingat bahwa lembaga perguruan tinggi memegang amanah mulia dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan dan pengajaran,
pengabdian masyarakat, dan penelitian). Aktualisasi nilai tersebut perlu dilakukan dalam kerangka perencanaan formal dan bisa dievaluasi secara jelas. Cara untuk memenuhi tiga misi tersebut dilakukan dengan menggunakan tetrahedron paradigma baru perguruan tinggi. Manajemen perguruan tinggi akan diarahkan menuju gambar 1 di atas. Perguruan tinggi mempunyai misi yang luhur dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karenya ada beberapa upaya dan parameter yang bisa dipakai sebagai paradigma yaitu kualitas pendikan sebagai civitas akademika yang sesuai dengan Tridharma perguruan tinggi, otonomi berarti kebebasan dan kemandirian untuk berkembang, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sebagai entitas pendidikan dalam memenuhi misi perguruan tinggi, evaluasi diri terkait dengan kemampuan perguruan tinggi untuk memahami dalam kondisi dirinya, dan akreditasi yang merupakan penilaian oleh pihak independen/badan akreditasi bertaraf nasional tentang penyelenggaraan dan kineija perguruan tinggi.



Visi dan Misi Strategi Perguruan Tinggi dan 4 (Empat) Prespektif Balanced Scorecard
Pendidikan sebenarnya tergolong dalam kategori industri jasa yang bersifat nirlaba. Purwanto (2000) mencetuskan bahwa setidaknya perguruan tinggi yang profesional sudah mengarah pada suatu industri jasa yang berpelanggan dalam tingkatan eksternal dan internal. Tingkat Eksternal pada level primer adalah mahasiswa, sekunder adalah orang tua mahasiswa dan shareholder, dan tersier adalah pemakai tenaga lulusan perguruan tinggi. Tingkat Internal adalah dosen dan tenaga administrasi. Selain itu, konsep nirlaba bukan berarti menafikkan persaingan dan pemasaran (Ridiwiyanto & Dharmmesta 2001). Misi mulia pendidikan tinggi tercakup dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan bagian dari upaya negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Keberadaan perguruan tinggi sebagai suatu bagian dalam sistem pendidikan nasional menurut PP No. 60/ 1999 pasal 2 bertujuan untuk :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan perofesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan kesenian
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya budaya.
Dalam Balance Scorecard harus adanya keseimbangan antara semua faktor yaitu keseimbangan antara :
·      Faktor keuangan dan non keuangan
·      Pihak eksternal dan internal
·      Jangka pendek dan jangka panjang
Tabel 1. 4 Perspektif

BSC merupakan seperangkat ukuran yang seimbang (balanced) dengan menggunakan 4 prespektif yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Tujuan dan ukuran scorecard diturunkan dari visi dan strategi (Kaplan & Norton 1996:7). Berikut ini penjelasan singkat dari 4 prespektif yang nantinya akan dicoba diadopsi dalam kerangka manajemen perguruan tinggi:
1. Prespektif finansial: kinerja keuangan akan berbasis pada upaya memberikan dampak laba maksimal bagi shareholders. Ini akan terkait dengan ukuran profitabilitas semisal laba operasi, return on capaital employed (ROCE), atau economic value added (EVA).
2. Prespektif bisnis internal: untuk mencapai kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi laba pada shareholders, proses bisnis harus benarbenar dilakukan dengan efisien dan efektif, misalnya berbasis analisis rantai nilai, tingkar inovasi produk, proses operasi, ataupun delivery-nya.
3. Pembelajaran dan pertumbuhan: mengidentifikasi infrastruktur yang harus dibangun untuk menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Sumber utama pembelajaran dan pertumbuhan adalah manusia, sistem, dan prosedur perusahaan.
4. Prespektif pelanggan: indentifikasi pelanggan dan segmen pasar tempat suatu bisnis itu bersaing. Ukurannya biasanya terdiri dari: kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan, profitabilitas penggan, dan pangsa pasar segmen sasaran.
            Dalam Balanced Scorecard harus seimbang antara persepektif keuangan , persektif pelanggan , persektif proses bisnis internal. Persektif pembelajaran pertumbuhan. Pengukuran kinerja pada perguruan tinggi dan ukuran-ukuran kinerjanya yaitu:
1.    Prespektif Finansial
Ukuran finansial yang dipakai bukanlah laba, melainkan menurut Jones & Pendlebury (1996) menggunakan 3 konsep fundamental yaitu economy, efficiency, dan effectivity. Jordan (1995:119) memformulasikan manajemen keuangan perguruan tinggi manajemen bantuan, investasi, uang tunai, anggaran, pembukuan (akuntansi), dan biaya-biaya. Selain itu output yang dipakai adalah laporan keuangan, artinya perguruan tinggi harus membuat
laporan keuangan. Penelitian Adam (2002) berusaha merekonstruksi model pelaporan keuangan perguruan tinggi swasta berdasarkan PSAK No. 45 yang terdiri dari Neraca, Laporan Aktivitas, Laporan Arus Kas, dan beberapa laporan pendukung seperti Laporan Anggaran dan Realisasi, dan Laporan Beban Aktivitas Utama.
Herzlinger & Nitterhouse (1994:552) memformulasikan indikator keuangan perguruan tinggi dalam formula sebagai berikut:
Balance Sheet
·      Current Ratio
·      Quick Ratio
·      Assets by fund as a percentage o f total assets
·      Debt to total capital ratio
·      Amount of unrestricted current and quasi endowment funds
·      Amount o f receivables and receivable turnover
·      Reliance on interfund borrowing
Operating Statement
·      Current funds expenditures to revenue
·      Educational expenditures to eductional revenue
·      Current fund gifts, grants, dan and contracts as percentage o f revenue
·      Educational and general to total current fund expenditures
·      Student services to total current fund expenditures
·      Student aid expenditures as a percentage o f tuition and fees
·      Current funds revenue to plant assets
·      Fixed operating costs to revenue
Henke (1992:581) sendiri membagi kategori pengukuran kinerja keuangan dalam tiga prespektif yaitu
·      an effective set o f budgetary procedures
·      procedures fo r measuring input-output relationship
·      financial performance reporting developed along authority-responsibility lines including cost allocations procedures that will facilitate appropriate pricing of services to users.
1.    Perspektif Pelanggan
Kunci utama keberhasilan management ofhighereduction adalah orientasi klien (Semiawan 1998:69; Risdiwiyanto & Dharmmesta 2001). Riset pasar perguruan tinggi bisa dilakukan tidak hanya saat akan menerbitkan produk (jurusan baru) tapi sebenarnya juga merupakan pengukuran kinerja entitas saat berjalan. Kerangka akreditasi perguruan tinggi sebenarnya bisa saja dipakai sebagai penilai pesaing atau sebagai alat pemetaan pasar. Kriteria akreditasi sudah cukup jelas misalnya mengenai kualitas lulusan, jumlah rasio dosen dan mahasiswa, gelar/kepangkatan/jabatan akademis, jumlah terbitan, jumlah riset, masalah input perguruan tinggi, serta sarana dan prasarana misalnya laboratorium, komputer, fasilitas penunjang, dan unsur administrasi. Parameter ini bisa dipakai dalam mengidentifikasi pasar tentang posisi perguruan tinggi dalam persaingan. Riset pasar yang benar-benar nyata dilakukan oleh Risdiwiyanto &Dharmmesta (2001) dengan populasi responden seluruh siswa SMA kelas tiga di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dengan metode analisis faktor confirmatory factor analysis penelitian ini menghasilkan preferensi, tergambar dalam piramida sebagai berikut :
Dengan berbasis riset pasar, sebenarnya perguruan tinggi akan mengetahui dia berada di mana dan saat melihat preferensi konsumen (meski kadang dilematis) perguruan tinggi bisa menyesuaikan kebijakan atau strateginya untuk bisa menang di pasaran. Harus berhati-hati bahwa semua itu tidak boleh menyimpang dari misi strategis dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
2.    Perspektif Aktvitas Internal
Acuannya adalah proses belajar mengajar dalam kerangka operating Measurement. Beberapa indikator yang dipakai oleh Strange dan Banning (1998:68) mulai dari number o f research grants, manuscripts published, full time equivalent (FTE) faculty, books read, student credit hours, dan public and professionals services.
Di Amerika banyak penelitian yang sebenarnya mencoba mengevaluasi
produktivitas dosen melalui jumlah penerbitan dan jurnal, dan kepemilikan jurnal dari tiap universitas. Hasselback & Reinstein (1995) mencoba menelusuri produktifitas dosen akuntansi di 716 perguruan tinggi di Amerika sesuai dengan data accounting faculty directory. Penelitian ini bersifat deskriptif namun bisa menunjukkan kinerja aktivitas internal dari segi jumlah riset yang diterbitkan dan posisi kompetitif jurusan di pasaran perguruan tinggi dari segi kemampuan risetnya.
3.     Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Prespektif ini sebenarnya berupaya bagaimana perguruan tingg memahami kondisi dirinya sehingga mampu membuat rencana/program jangk panjang dalam rangka perbaikan berkelanjutan (continous improvement). Keterlibatan berbagai pihak, termasuk staf akademik akan menciptakan institutional commitment guna menumbuhkan kesadaran diri (untuk tumbuh dan berkembang) (Semiawan 1998:74). Usaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi adalah:
1.      Mendorong/memfasilitasi terciptanya budaya riset yang tinggi (karena jumlah publikasi di Indonesia masih rendah) baik itu untuk dosen maupun
mahasiswa.
2.      Mendorong/memfasilitasi program belajar ke jenjang lebih tinggi untuk para dosen guna peningkatan kualitas proses belajar mengajar
3.      Menciptakan sistem pendidikan (kurikulum) maupun penunjang yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar (proses dinamis)
Grafik 1.1. BSC 4 Perspektif
Faktor SDM sangat ditekankan dalam proses pembelajaran dan pertumbuhan perguruan tinggi. Tenaga akademik sebagai human capital sebenarnya merupakan kunci keberhasilan perguruan tinggi. Upaya menyekolahkan dosen sebenarnya merupakan investasi yang diarahkan untuk menuju perbaikan intelectual capital. Upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kompetensi dengan cara buy (membeli), build (melakukan investasi untuk menjadikan karyawan lebih baik), borrow (meminjam atau mencari konsultan dari pihak luar), bounce (mengeluarkan karyawan yang gagal karena bisa merugikan) dan bind (mengikat karyawan agar sesuai dengan tujuan perusahaan atau menahan untuk tidak cepat keluar) (Sugeng 2000).
Kendala pada prguruan tinggi internalisasi BSC tentunya bukan hal yang mudah, beberapa pengguruan tinggi sangat terikat  platform untuk memenuhi standar kinerja berbasis kemauan organisasi di atasnya (semisal PTN dengan basis ketentuan DIKTI). Khususnya untuk pengukuran kinerja keuangan, masih sedikit PTS (tidak PTN karena PTN tidak memakai PSAK No. 45 dalam pelaporan keuangannya) yang menggunakan PSAK No. 45 atau menggunakan double entry
 book-keeping dalam proses akuntansinya
 BSC untuk dijadikan alat ukur kinerja sangat mungkin untuk dipraktekkan di manajemen perguruan tinggi. Penggunaan BSC secara teoritis bisa mendukung program pemberdayaan perguruan tinggi dalam rangka memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan kombinasinya melalui konsep tetrahedron paradigma baru perguruan tinggi. Dalam jurnal ini belum teraplikasikan sear pengukuran kinerja dari masing-masing 4 perspektif dan gabungan dalam konsep Balanced Scorecard yang terkit dengat mata rantai sebab akibat (lag dan lead indicator).