INTERNALISASI
PERSPEKTIF BALANCED SCORECARD
DALAM
PENGUKURAN KINERJA PERGURUAN TINGGI
Helxny
Adam
Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya
Abstraksi
Pengukuran
kinerja perguruan tinggi di Indonesia dirasa masih
sangat
terbatas dalam hal memandang konsepperguruan tinggi sebagai
suatu
entitas integral dalam pendidikan dan proses aktivitas operasinya.
Penggunaan
4 (empat) prespektif Balanced Scorecard (keuangan, proses
bisnis
internal, pembelajaran dan pertumbuhan, dan pelanggan) dalam
menyusun
alat ukur kinerja disamping kaitannya dengan misi strategis
secara
teoritis bisa dikembangkan di Perguruan Tinggi- Empat prespektif
tersebut
diturunkan dalam beberapa pengukuran teknis yang akan
dijabarkan
dalam tulisan ini meskipun beberapa hal belum teruji
integral
secara empiris.
Kata
Kunci: balanced scorecard, perguruan tinggi, kinerja
Pendahuluan
Pendidikan tinggi di
Indonesia berkembang pesat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan era
kemudahan dalam pendirian perguruan tinggi. Tingkat persaingan yang semakin
hebat menjadikan perguran tinggi harus mampu melihat posisi dan kondisi
dirinya. Beberapa kelemahan yang dialami
oleh perguruan tinggi
negeri ternyata juga terjadi di perguruan tinggi swasta, misalnya terkait dengan
budaya pengawai yang bekerja tidak berorientasi pada kualitas hasil, namun
lebih melihat proses/volume kerjanya. Mereka bekerja keras dan yakin telah
bekerja sekuat tenaga, tetapi tidak mengetahui apa hasil yang diperoleh dan
bagaimana mengevaluasinya (Kaplan & Norton 1996:158).
Pengembangan model
pengukuran kinerja yang lebih modem diperlukan,mengingat pengukuran kinerja
perguruan tinggi cenderung tidak jelas, meskipun ada akreditasi dari Badan
Akreditasi Nasional (BAN). Sebenarnya revolusi manajemen telah dilakukan dengan
munculnya paradigma baru
perguruan tinggi melalui
konsep tetrahedron yaitu evaluasi, kualitas, akuntabilitas, otonomi, dan
akreditasi (Suhendro 1996). Keterikatan institusional mulai dikurangi sejak
tahun akademik 1997/1998 dengan tata cara pengajuan anggaran yang oleh dirjen
DIKTI didasarkan pada kriteria kinerjanya {performance based), artinya
perguruan tinggi didorong untuk mengadakan perencanaan yang terkait dengan
evaluasi dirinya (Semiawan 1998:73). Artikel ini membahas mengenai ide
penggunaan 4 prespektifnya balanced scorecard (BSC) yang diambil untuk
diaplikasikan dalam membuat evaluasi dan mengukuran kinerja perguruan tinggi.
Walaupun pada awainya aplikasi BSC
digunakan pada sektor
laba, peluang scorecard masih bisa dipakai untukmemperbaiki manajemen
pemerintah atau perusahaan nirlaba (Kaplan & Norton 1996:175). Diharapkan
ide ini akan mampu menjadi alat bantu revolusi manajemen PTS menuju arah
pengukuran kinerja kontemporer yang tidak
tertinggal dengan
organisasi bisnis. Manajemen Organisasi Nirlaba dan Manajemen Perguruan Tinggi
Perbedaan orientasi
organisasi bisnis dan nirlaba berimplikasi pada pola manajemen yang berbeda.
Manajemen organisasi bisnis diarahkan untuk pencapaian tujuan maksimalisasi
profit perusahaan dalam rangka memperkaya shareholders. Manajemen organisasi
nirlaba lebih diarahkan menuju upaya memberikan ja sa tanpa mengharap kembalian
yang setara dengan pengorbanannya (cosÃ). Kriteria organisasi nirlaba menurut
PSAK No. 45 sebagai berikut:
a. Sumber daya entitas
yang berasal dari para penyumbang yang tidak
mengharapkan pembayaran
kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding
dengan jumlah sumber daya
yang diberikan
b. Menghasilkan barang
dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan
kalau suatu entitas
menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah
dibagikan kepada para
pendiri atau pemilik entitas tersebut
c. Tidak ada kepemilikan
seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti
bahwa kepemilikan dalam
organisasi nirlaba tidak dapat dijual, atau ditebus
kembali, atau kepemilikan
tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian
sumber daya entitas pada
saat likuidasi atau pembubaran entitas (IAI 1999)
Perkembangan manajemen
organisasi nirlaba dan evaluasi kinerjanya
cenderung dibuat
asal-asalan atau kadang tidak jelas. Beberapa yayasan
membuat laporan kinerja
keuangan hanya untuk memenuhi tuntutan
akuntabilitas penyumbang,
dan tidak berorientasi untuk perkembangan
lembaganya sendiri.
Manajemen perguruan
tinggi umumnya hanya membuat analisis kinerja keuangan berbasis laporan
anggaran dan realisasi anggaran, serta beberapa evaluasi diri non-keuangan
untuk keperluan akreditasi. Hal ini menjadikan evaluasi kinerja komprehensif
yang bersifat formal tidak berkembang sehingga seolah-olah manajemen pelaporan
kinerja perguruan tinggi menganut azas kesederhanaan dalam pelaporan seperti
organisasi nirlaba lainnya. Instruksi DIKNAS untuk memformalkan visi dan misi
strategis dan perencanaan sebenarnya telah dipenuhi oleh pihak manajemen
perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah visi dan misi tersebut sudah sesuai
dengan kriteria kinerjanya, dan apakah strategi yang dibuat bisa
diaktualisasikan dalam tindakan. Harus kita ingat bahwa lembaga perguruan
tinggi memegang amanah mulia dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan dan
pengajaran,
pengabdian masyarakat,
dan penelitian). Aktualisasi nilai tersebut perlu dilakukan dalam kerangka
perencanaan formal dan bisa dievaluasi secara jelas. Cara untuk memenuhi tiga
misi tersebut dilakukan dengan menggunakan tetrahedron paradigma baru perguruan
tinggi. Manajemen perguruan tinggi akan diarahkan menuju gambar 1 di atas.
Perguruan tinggi mempunyai misi yang luhur dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa, oleh karenya ada beberapa upaya dan parameter yang bisa dipakai sebagai
paradigma yaitu kualitas pendikan sebagai civitas akademika yang sesuai dengan
Tridharma perguruan tinggi, otonomi berarti kebebasan dan kemandirian untuk
berkembang, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sebagai entitas pendidikan
dalam memenuhi misi perguruan tinggi, evaluasi diri terkait dengan kemampuan
perguruan tinggi untuk memahami dalam kondisi dirinya, dan akreditasi yang
merupakan penilaian oleh pihak independen/badan akreditasi bertaraf nasional
tentang penyelenggaraan dan kineija perguruan tinggi.
Visi dan Misi Strategi Perguruan Tinggi dan 4 (Empat) Prespektif Balanced Scorecard
Pendidikan sebenarnya tergolong
dalam kategori industri jasa yang bersifat nirlaba. Purwanto (2000) mencetuskan
bahwa setidaknya perguruan tinggi yang profesional sudah mengarah pada suatu industri
jasa yang berpelanggan dalam tingkatan eksternal dan internal. Tingkat
Eksternal pada level primer adalah mahasiswa, sekunder adalah orang tua
mahasiswa dan shareholder, dan tersier adalah pemakai tenaga lulusan
perguruan tinggi. Tingkat Internal adalah dosen dan tenaga administrasi. Selain
itu, konsep nirlaba bukan berarti menafikkan persaingan dan pemasaran
(Ridiwiyanto & Dharmmesta 2001). Misi mulia pendidikan tinggi tercakup
dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan bagian dari upaya negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Keberadaan perguruan tinggi sebagai suatu bagian
dalam sistem pendidikan nasional menurut PP No. 60/ 1999 pasal 2 bertujuan
untuk :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memiliki kemampuan akademik dan perofesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan, dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan kesenian
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya budaya.
Dalam Balance Scorecard harus
adanya keseimbangan antara semua faktor yaitu keseimbangan antara :
·
Faktor keuangan dan non
keuangan
·
Pihak eksternal dan
internal
·
Jangka pendek dan
jangka panjang
Tabel 1. 4 Perspektif
BSC merupakan seperangkat
ukuran yang seimbang (balanced) dengan menggunakan 4 prespektif yaitu
finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan
pertumbuhan. Tujuan dan ukuran scorecard diturunkan dari visi dan
strategi (Kaplan & Norton 1996:7). Berikut ini penjelasan singkat dari 4
prespektif yang nantinya akan dicoba diadopsi dalam kerangka manajemen
perguruan tinggi:
1. Prespektif finansial: kinerja keuangan akan berbasis
pada upaya memberikan dampak laba maksimal bagi shareholders. Ini akan
terkait dengan ukuran profitabilitas semisal laba operasi, return on
capaital employed (ROCE), atau economic value added (EVA).
2. Prespektif bisnis internal: untuk mencapai kepuasan
konsumen dan memberikan kontribusi laba pada shareholders, proses bisnis
harus benarbenar dilakukan dengan efisien dan efektif, misalnya berbasis
analisis rantai nilai, tingkar inovasi produk, proses operasi, ataupun delivery-nya.
3. Pembelajaran dan pertumbuhan: mengidentifikasi
infrastruktur yang harus dibangun untuk menciptakan pertumbuhan dan peningkatan
kinerja jangka panjang. Sumber utama pembelajaran dan pertumbuhan adalah
manusia, sistem, dan prosedur perusahaan.
4. Prespektif pelanggan: indentifikasi pelanggan dan
segmen pasar tempat suatu bisnis itu bersaing. Ukurannya biasanya terdiri dari:
kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan, profitabilitas
penggan, dan pangsa pasar segmen sasaran.
Dalam
Balanced Scorecard harus seimbang antara persepektif keuangan , persektif
pelanggan , persektif proses bisnis internal. Persektif pembelajaran pertumbuhan.
Pengukuran kinerja pada perguruan tinggi dan ukuran-ukuran kinerjanya yaitu:
1.
Prespektif
Finansial
Ukuran
finansial yang dipakai bukanlah laba, melainkan menurut Jones & Pendlebury
(1996) menggunakan 3 konsep fundamental yaitu economy, efficiency, dan
effectivity. Jordan (1995:119) memformulasikan manajemen keuangan
perguruan tinggi manajemen bantuan, investasi, uang tunai, anggaran, pembukuan
(akuntansi), dan biaya-biaya. Selain itu output yang dipakai adalah laporan
keuangan, artinya perguruan tinggi harus membuat
laporan
keuangan. Penelitian Adam (2002) berusaha merekonstruksi model pelaporan
keuangan perguruan tinggi swasta berdasarkan PSAK No. 45 yang terdiri dari
Neraca, Laporan Aktivitas, Laporan Arus Kas, dan beberapa laporan pendukung
seperti Laporan Anggaran dan Realisasi, dan Laporan Beban Aktivitas Utama.
Herzlinger & Nitterhouse
(1994:552) memformulasikan indikator keuangan perguruan tinggi dalam formula
sebagai berikut:
Balance
Sheet
·
Current Ratio
·
Quick Ratio
·
Assets by fund
as a percentage o f total assets
·
Debt to total
capital ratio
·
Amount of
unrestricted current and quasi endowment funds
·
Amount o f
receivables and receivable turnover
·
Reliance on
interfund borrowing
Operating
Statement
·
Current funds
expenditures to revenue
·
Educational expenditures
to eductional revenue
·
Current fund
gifts, grants, dan and contracts as percentage o f revenue
·
Educational
and general to total current fund expenditures
·
Student
services to total current fund expenditures
·
Student aid
expenditures as a percentage o f tuition and fees
·
Current funds
revenue to plant assets
·
Fixed
operating costs to revenue
Henke (1992:581) sendiri
membagi kategori pengukuran kinerja keuangan dalam tiga prespektif yaitu
·
an effective
set o f budgetary procedures
·
procedures fo
r measuring input-output relationship
·
financial
performance reporting developed along authority-responsibility lines including
cost allocations procedures that will facilitate appropriate pricing of
services to users.
1.
Perspektif
Pelanggan
Kunci
utama keberhasilan management ofhighereduction adalah orientasi klien
(Semiawan 1998:69; Risdiwiyanto & Dharmmesta 2001). Riset pasar perguruan
tinggi bisa dilakukan tidak hanya saat akan menerbitkan produk (jurusan baru)
tapi sebenarnya juga merupakan pengukuran kinerja entitas saat berjalan.
Kerangka akreditasi perguruan tinggi sebenarnya bisa saja dipakai sebagai
penilai pesaing atau sebagai alat pemetaan pasar. Kriteria akreditasi sudah
cukup jelas misalnya mengenai kualitas lulusan, jumlah rasio dosen dan
mahasiswa, gelar/kepangkatan/jabatan akademis, jumlah terbitan, jumlah riset,
masalah input perguruan tinggi, serta sarana dan prasarana misalnya
laboratorium, komputer, fasilitas penunjang, dan unsur administrasi. Parameter
ini bisa dipakai dalam mengidentifikasi pasar tentang posisi perguruan tinggi
dalam persaingan. Riset pasar yang benar-benar nyata dilakukan oleh
Risdiwiyanto &Dharmmesta (2001) dengan populasi responden seluruh siswa SMA
kelas tiga di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dengan metode analisis faktor confirmatory
factor analysis penelitian ini menghasilkan preferensi, tergambar dalam piramida sebagai berikut :
Dengan berbasis riset pasar, sebenarnya perguruan tinggi
akan mengetahui dia berada di mana dan saat melihat preferensi konsumen (meski
kadang dilematis) perguruan tinggi bisa menyesuaikan kebijakan atau strateginya
untuk bisa menang di pasaran. Harus berhati-hati bahwa semua itu tidak boleh
menyimpang dari misi strategis dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
2. Perspektif Aktvitas
Internal
Acuannya
adalah proses belajar mengajar dalam kerangka operating Measurement. Beberapa
indikator yang dipakai oleh Strange dan Banning (1998:68) mulai dari number
o f research grants, manuscripts published, full time equivalent (FTE) faculty,
books read, student credit hours, dan public and professionals services.
Di Amerika banyak penelitian yang sebenarnya mencoba
mengevaluasi
produktivitas
dosen melalui jumlah penerbitan dan jurnal, dan kepemilikan jurnal dari tiap
universitas. Hasselback & Reinstein (1995) mencoba menelusuri produktifitas
dosen akuntansi di 716 perguruan tinggi di Amerika sesuai dengan data accounting
faculty directory. Penelitian ini bersifat deskriptif namun bisa
menunjukkan kinerja aktivitas internal dari segi jumlah riset yang diterbitkan
dan posisi kompetitif jurusan di pasaran perguruan tinggi dari segi kemampuan
risetnya.
3. Perspektif
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Prespektif
ini sebenarnya berupaya bagaimana perguruan tingg memahami kondisi dirinya
sehingga mampu membuat rencana/program jangk panjang dalam rangka perbaikan
berkelanjutan (continous improvement). Keterlibatan berbagai
pihak, termasuk staf akademik akan menciptakan institutional commitment guna
menumbuhkan kesadaran diri (untuk tumbuh dan berkembang) (Semiawan 1998:74).
Usaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi adalah:
1.
Mendorong/memfasilitasi
terciptanya budaya riset yang tinggi (karena jumlah publikasi di Indonesia masih
rendah) baik itu untuk dosen maupun
mahasiswa.
2.
Mendorong/memfasilitasi
program belajar ke jenjang lebih tinggi untuk para dosen guna peningkatan
kualitas proses belajar mengajar
3.
Menciptakan sistem
pendidikan (kurikulum) maupun penunjang yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar
(proses dinamis)
Grafik 1.1. BSC 4 Perspektif
Faktor SDM sangat ditekankan
dalam proses pembelajaran dan pertumbuhan perguruan tinggi. Tenaga akademik
sebagai human capital sebenarnya merupakan kunci keberhasilan
perguruan tinggi. Upaya menyekolahkan dosen sebenarnya merupakan investasi yang
diarahkan untuk menuju perbaikan intelectual capital. Upaya yang
dilakukan adalah dengan meningkatkan kompetensi dengan cara buy (membeli),
build (melakukan investasi untuk menjadikan karyawan lebih baik),
borrow (meminjam atau mencari konsultan dari pihak luar), bounce
(mengeluarkan karyawan yang gagal karena bisa merugikan) dan bind (mengikat
karyawan agar sesuai dengan tujuan perusahaan atau menahan untuk tidak cepat
keluar) (Sugeng 2000).
Kendala pada prguruan tinggi internalisasi
BSC tentunya bukan hal yang mudah, beberapa pengguruan tinggi sangat
terikat platform untuk memenuhi
standar kinerja berbasis kemauan organisasi di atasnya (semisal PTN dengan
basis ketentuan DIKTI). Khususnya untuk pengukuran kinerja keuangan, masih sedikit
PTS (tidak PTN karena PTN tidak memakai PSAK No. 45 dalam pelaporan
keuangannya) yang menggunakan PSAK No. 45 atau menggunakan double entry
book-keeping dalam proses akuntansinya
BSC untuk dijadikan alat ukur kinerja sangat
mungkin untuk dipraktekkan di manajemen perguruan tinggi. Penggunaan BSC secara
teoritis bisa mendukung program pemberdayaan perguruan tinggi dalam rangka memenuhi
Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan kombinasinya melalui konsep tetrahedron
paradigma baru perguruan tinggi. Dalam jurnal ini belum teraplikasikan sear
pengukuran kinerja dari masing-masing 4 perspektif dan gabungan dalam konsep Balanced Scorecard yang terkit dengat
mata rantai sebab akibat (lag dan
lead indicator).